This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 30 September 2018

Mari, Sedikit Memahami Arti Hikmah

Mari, Sedikit Memahami Arti Hikmah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kebijakan (dari Allah); sakti atau kesaktian dan; arti atau makna yang dalam; manfaat. Tetapi sebenarnya, kata "hikmah" merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Sedang, menurut kamus bahasa Arab itu sendiri, al-Hikmah mempunyai banyak arti. Diantaranya, kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang bagus, pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, peribahasa (kata-kata bijak), dan al-Qur'anul karim. (Kamus al-Munawir: 287).

Sedangkan Imam al-Jurjani dalam kitabnya memberikan makna al-Hikmah secara bahasa artinya ilmu yang disertai amal (perbuatan). Orang yang ahli ilmu Hikmah disebut al-Hakim, bentuk jamaknya (plural) adalah al-Hukama'. Yaitu orang yang mengamalkan ilmunya di jalan yang benar.

Ilmu Hikmah adalah suatu amalan spiritual yang berupa ayat Alqur’an, doa-doa tertentu, hizib atau mantra-mantra suci yang berbahasa Arab dan diimbangi dengan laku batin untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membersihkan jiwa dari berbagai penyakit hati. Yang disebut mantra suci adalah mantra yang isi kandungannya tidak melanggar syariat islam. Ilmu Hikmah bisa dipelajari dengan amalan berupa dzikir, tabarruk, menyendiri, membersihkan hati, bersikap bijaksana atau riyadhoh tertentu sesuai ajaran para guru/ulama.

Oleh karena itu, inti dari Ilmu Hikmah sebenarnya adalah mendekatkan diri dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Hingga kita sama sekali tidak merasa punya kehebatan. Karena tiada daya dan upaya yang mampu hamba lakukan kecuali karena adanya Allah semata.

Para ulama' tafsir rahimahumullah juga mempunyai definisi masing masing tentang Ilmu Hikmah. Yang  mana antar pendapat tersebut saling berkaitan dan melengkapi satu sama lain. Imam Mujahid mengartikan al-Hikmah adalah "Benar dalam perkataan dan perbuatan".

Ibnul Qasim mengatakan, Ilmu Hikmah adalah memahami ajaran agama Allah lalu mengikutinya dan mengamalkannya." Imam Ibrahim an-Nakho'i mengartikan Ilmu Hikmah adalah memahami apa yang dikandung Al-Qur’an."

lmam as-Suddiy mengartikan al-Hikmah dengan an-Nubuwwah (hal-hal yang berkaitan dengan kenbian). Ar-rabi' bin Anas berkata mendefinisikan Hikmah sebagai rasa takut kepada Allah. Sedangkan Hasan al-Bashri memakna hikmah sebagai "Sifat wara' atau hati-hati dalam masalah halal dan haram.

Imam at-Thabari rahimahullah menambahkan, “Menurut kami, makna Ilmu Hikmah yang tepat adalah ilmu tentang hukum-hukum Allah yang tidak bisa dipahaminya kecuali melalui penjelasan Rasulullah. Dengan begitu al-Hikmah disini berasal dari kata al-Hukmu yang bermakna penjelasan antara yang haq dan yang bathil. Seperti kalimat al-Jilsah berasal dari kata al-Julus. Kalau dikatakan bahwa si Fulan itu orang yang Hakim, berarti dia itu orang yang benar dalam perkataan dan perbuatan." (Kitab Tafsir at-Thaban: 1/ 557).

Dari berbagai definis Ilmu Hikmah yang disampaikan oleh ulama-ulama besar di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Ilmu Hikmah bukanlah sekedar bacaan dzikir yang dibaca rutin setiap hari. Ilmu Hikmah mencakup segala perbuatan kita, baik perbuatan kita kepada diri kita, kepada sesama, kepada alam dan bakti kita kepada Allah. Jelas sudah bahwa, orang yang mengamalkan Ilmu Hikmah hendaknya berusaha berperilaku bijaksana dalam segala hal. Dengan demikian Allah memberkahi segala amal perbuatan kita. 

Ilmu Hikmah adalah ilmu spiritual islam yang membimbing kita mengenal ajaran-ajaran Allah dan sunnah Rasul-Nya, sehingga kita bisa mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, mana yang diperintahkan dan  mana yang dilarang. Dengan ilmu hikmah seperti itulah, kita akan menjadi orang yang benar dalam perkataan dan perbuatan. Itulah sejatinya ilmu Hikmah.

Apabila kita memperhatikan definisi ilmu Hikmah yang disampaikan oleh para ulama' di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa ilmu Hikmah itu ada sumbernya, yaitu al-Qur'an dan a-Hadits. Keduanya merupakan referensi ilmu Hikmah yang sebenarnya. Apabila ada kitab-kitab lain yang mengajarkan ilmu hikmah, tapi ternyata bertentangan atau menyimpang dari al-Qur'an dan al-Hadits, berarti itu adalah ilmu Hikmah palsu atau gadungan.

Dalam al-Qur'an disebutkan, “Allah menganugrahkan al-Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 269).

Ilmu Hikmah adalah ilmu yang disertai amal perbuatan nyata sehingga kita menjadi manusia yang bijaksana dalam bertindak, lebih dekat dengan Allah dan mendapatkan keberkahan dalam usaha mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan belajar ilmu hikmah bukanlah untuk menjadi sakti atau menjadi hebat, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah sehingga Allah memberikan kemudahan kepada kita.

Namun akhirnya, kita dibenturkan dengan kata Hikmah yang tidak sesuai dengan kaidah penggunaannya. Semisal kata Hikmah yang digunakan sebagai Chanel televisi yang kontennya tidak mencerminkan nama yang digunakan. Hal ini perlu penyikapan secara serius agar simbol yang dekat dengan nilai ke-Tuhanan ini tidak disalahgunakan. Kata Hikmah yang digunakan sebagai Chanel sebuah televisi ini memberikan citra yang tidak baik.

Saran penulis, jika bukan nama chanelnya yang akan dirubah, maka tontonan yang tidak mengandung hikmah itu dirubah. Tontonan yang dimaksudkan adalah seperti program yang berisi nyanyian yang dinyanyikan dengan pakaian yang kurang elok dan sama sekali tidak mengandung hikmah. Karena selain pakaian rok mini yang kurang mendidik; adegan pegang tangan juga tidak kalah buruknya--dalam konteks penamaan chanel 'hikmah'.

Seandainya tidak bernama 'hikmah', maka tidak ada persoalan. Yang ditakutkan ketika beberapa tontonan yang tidak mendidik itu akan dianggap sebagai hikmah.

Wallahu a'lam

Pamekasan, 01 Oktober 2016

Minggu, 05 Agustus 2018

Ah, Ada-ada Saja Kiai ini

Ah, Ada-ada Saja Kiai ini

Beberapa hari yang lalu ada sebuah kegiatan. Kegiatan dimaksud adalah seminar aswaja yang dilaksanakan oleh manusia-manusia suci, yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Forum Kiai Muda (FKM). Sebelum membahas banyak tentang isi seminar, saya lebih tertarik membicarakan tentang forumnya. Sebab, forum ini melegitimasi diri sebagai sebuah kelompok, komunitas, golongan, perkumpulan atau apa pun namanya, yang di dalamnya terdiri dari para kiai.

Siapa Kiai itu? Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa, Kiai adalah sebutan bagi para alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam). Bukan bermaksud meragukan kealiman dan kepandaian orang-orang yang ada di dalam kelompok ini. Tapi bagaimana mungkin label yang biasa diberikan masyarakat, dan masyarakat yang biasa menyandingkan nama Kiai dengan manusia pilihan yang dianggap layak itu dengan maksud penghormatan atas ilmunya, mereka sanding sendiri. Tidak tanggung, tidak hanya satu dan dua orang saja ,tetapi segerombolan orang.

Pengakuan itu akan datang dengan sendiri pada saat kita sudah dianggap layak dalam ruang publik. Nama forum ini menindikasikan kebutuhan pengakuan tentang kepandaian dan kealiman. Tapi bagaimana mungkin manusia yang sungguh alim membutuhkan sebuah pengakuan. Rasanya tidak etis, manusia-manusia pilihan ini, melegitimasi dirinya sebagai orang yang alim.

Yang aneh lagi. Muncul istilah NU garis lurus. Artinya bahwa NU yang dianut oleh selain dirinya adalah NU garis miring. Apakah ini tidak akan melahirkan keretakan sosial. Jika ada sebagian manusia menganggap dirinya paling benar dan merasa sebagai pemilik kunci surga, ini perlu dipertanyakan keilmuannya. Penebar kebencian seperti ini justru tidak jauh beda dengan masa jahiliah dan ini cukup membahayakan.

Jangan-jangan kelompok ini masuk kategori yang disebut oleh, Prof. Dr. Abd. A'la, M.Ag., sebagai gerakan, jahiliyah kontemporer dan fundamentalisme. Seperti statement beliau bahwa, "Menguatnya kelompok fundamentalisme keagamaan yang sektarian dan fundamentalisme globalisasi ekstrem akhir-akhir ini memperlihatkan betapa nilai-nilai moral sosial--bahkan relegius--mengalami pemudaran cukup parah dalam kehidupan. Keangkuhan yang ditampakkan kedua kelompok itu meluaskan sikap saling menghormati antar sesama manusia. Keangkuhan pada gilirannya memunculkan kebrutalan dan pengrusakan di mana-mana. Kehidupan tentram dan damai nyaris tidak bersisa lagi, berganti dengan kehidupan penuh kecemasan dan ketakutan."

Artinya bahwa menculnya kelompok-kelompok baru dengan mengatasnamakan sebuah ideologi ini akan memecah belah kehidupan dalam bermasyarakat. Hal ini terjadi karena nilai-nilai kehidupan yang mereka anut bersifat tribal primordialistik. Berebut kebenaran tunggal yang belum jelas di mana. Semoga tidak sampai kena batu dari do'a Syaikhona Kholil, Bangkalan, dan atau do'a dari KH. R. As'ad Syamsul Arifin. Amin.

Pamekasan, 04 Agustus 2016

Tentang Kopi dan Paste

Tentang Kopi dan Paste

Sudah terlanjur enak ya? Ingat, bahwa kopi-paste (salin-tempel) karya orang lain tanpa mengikutsertakan sumber atau pengarangnya adalah sebuah kejahatan. Belum tahu ya? Plagiat adalah sebuah kejahatan intelektual yang sangat merugikan orang lain. Sebab, karya yang ditulis seseorang itu merupakan hasil pemikiran dan peras otak. Sehingga, jangan karena kepentingan popularitas, lantas kopi-paste seenaknya tanpa mengikutsertakan sumber atau pengarangnya.

Tidak penting kelihatan cerdas, bila tidak mempunyai sikap ilmiah; dan mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri. Tetapi, dalam hal ini ada dua kemungkinan bagi orang seperti ini: pertama, orang yang demikian ini tidak tahu bahwa kopi-paste adalah kejahatan; dan atau kedua, orang ini menganggap bahwa orang lain tidak tahu bahwa dirinya sedang kopi paste.

Menghargai karya orang lain, termasuk menghargai orang lain. Setiap orang mempunyai hak terhadap karya yang dibuat; ini yang disebut dengan hak intelektual. Seseorang yang melakukan kopi-paste karya orang lain tanpa mengikutsertakan sumbernya, maka dianggap melanggar hak intelektual. Dan hal ini ada konsekuensi secara hukum. Sebaiknya, bila ingin kelihatan pandai belajarlah, jangan memanfaatkan karya orang lain.

Kran informasi sudah dibuka seluas-luasnya, akses informasi saat ini sudah demikian deras dan ada di mana-mana. Maka, berpikir tidak ada yang tahu tentang apa yang sedang kita curi-dalam bentuk tulisan-perlu dihindari. Bagi yang jarang baca mungkin saja tidak tahu, tapi jangan tutup kemungkinan bagi yang lainnya. Simpan saja dulu keinginan untuk kelihatan pandai, belajar dulu untuk menghargai karya orang lain termasuk orangnya. Bila kita merasa kesulitan menulis satu kalimat saja, orang lain juga demikian.

Mari, belajar!

Pamekasan, 05 Agustus 2016

Sabtu, 04 Agustus 2018

NU Punya Ulama dan Kitab Kuning

NU Punya Ulama dan Kitab Kuning

Ini salah satu tradisi ilmiah yang sampai saat ini masih dilakukan di NU. Mendiskusikan persoalan keumatan dalam bidang keagamaan; memecahkan persoalan-persoalan masyarakat dalam perspektif agama. Kita menyebutnya ilmiah, karena pendekatan yang digunakan dalam memecahkan persoalan menggunakan pendekatan kitab kuning--kitab klasik tanpa harkat yang dikarang oleh para ulama. Dalam tradisi ini, warga nahdhiyyin menyebutnya Bahtsul Masail. Dengan mendatangkan para Masyaih, dan asatid yang ahli dalam bidang agama yang notabene mampu membaca kitab kuning, para beliau mendiskusikan persoalan dengan merujuk pada pendapat para ulama yang ada dalam kitab kuning.

Bertempat di kediaman KH. Mannan Fadhali sebagai Rois NU cabang Pamekasan, Pondok Pesantren Miftahul Qulub Polagan Kecamatan Galis. Satu mobil dengan bapak Dr. Shohieb, SH., M.Pd., Lukman Hakim, SH., Gus Lenong, Minhadji Ahmad Abdalla, kita menuju tempat kegiatan. Tentu saja kehadiran kami ke sana sudah koordinasi pada malam sebelumnya dengan KH. Tovix Hasyim sebagai Ketua PCNU Pamekasan. Sampai di tempat, kita jumpa dengan yang mulia kanda Basiruddin, pun dengan Ustadz Farid Khan sebagai pemilik forum. Tapi ke mana ya kira-kira, ustadz Abu Siri, Elman Duro, yang biasanya tidak pernah lepas dengan forum-forum ilmiah seperti ini? Kok, tidak kelihatan batang hidungnya.

Aroma keilmuan sangat terasa. Semua orang yang berargumentasi tidak lepas dengan referensi. Manfaat terbesar, ketika masyarakat mengetahui secara langsung sumber yang melegitimasi tentang boleh dan tidak bolehnya sesuatu yang dilakukan di masyarakat, dengan konsekuensi haram atau halal dan atau hukum syariat lainnya. Dan ini penting diikuti oleh semua masyarakat dari semua lapisan, agar supaya mendapatkan ilmu agama langsung dari sumbernya secara langsung. Tidak hanya ilmu yang didapatkan, pada saat bersamaan kita juga mengakrabkan diri dengan Tuhan.

Sebenarnya tradisi ilmiah seperti ini tidak tiba-tiba ada. "Di kalangan Nadlatul Ulama, Bahtsul Masail merupakan tradisi intelektual yang sudah berlangsung lama. Sebelum Nahdlatul Ulama (NU) berdiri dalam bentuk organisasi formal (jam’iyah), aktivitas Bahtsul Masail telah berlangsung sebagai praktek yang hidup di tengah masyarakat muslim nusantara, khususnya kalangan pesantren. Hal itu merupakan pengejawantahan tanggung jawab ulama dalam membimbing dan memandu kehidupan keagamaan masyarakat sekitarnya.

NU kemudian melanjutkan tradisi itu dan mengadopsinya sebagai bagian kegiatan keorganisasian. Bahtsul Masail sebagai bagian aktivitas formal organisasi pertama dilakukan tahun 1926, beberapa bulan setelah NU berdiri. Tepatnya pada Kongres I NU (kini bernama Muktamar), tanggal 21-23 September 1926. Selama beberapa dekade, forum Bahtsul Masa`il ditempatkan sebagai salah satu komisi yang membahas materi muktamar. Belum diwadahi dalam organ tersendiri.

Pada tingkat nasional, bahtsul masail diselenggarakan bersamaan momentum Kongres atau Muktamar, Konferensi Besar (Konbes), Rapat Dewan Partai (ketika NU menjadi partai) atau Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama. Mulanya Bahtsul Masail skala nasional diselenggarakan setiap tahun. Hal itu terjadi sejak Muktamar I (1926) sampai Muktamar XV (1940). Namun situasi politik yang kurang stabil akibat meletusnya Perang Dunia II, membuat kegiatan Bahtsul Masail yang menyertai Kongres, setelah periode 1940, menjadi tersendat-sendat. Tidak lagi tiap tahun.

Sejak tahun 1926 sampai 2007 telah diselenggarakan Bahtsul Masa`iltingkat nasional sebanyak 42 kali. Ada beberapa Muktamar yang dokumennya belum ditemukan, yaitu Muktamar XVII (1947), XVIII (1950), XIX (1952), XXI (1956), XXII dan XXIV. Dari dokumen yang terlacak, baru ditemukan 36 kali Bahtsul Masail skala nasionalyang menghasilkan 536 keputusan.

Setelah lebih setengah abad NU berdiri, Bahtsul Masail baru dibuatkan organ tersendiri bernama Lajnah Bahtsul Masail Diniyah. Hal itu dimulai dengan adanya rekomendasi Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta tahun 1989. Komisi I Muktamar 1989 itu merekomendasikan PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, sebagai lembaga permanen.

Untuk memperkuat wacana pembentukan lembaga permanen itu, pada Januari 1990, berlangsung halaqah (sarasehan) di Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, yang juga merekomendasikan pembentukan Lajnah Bahtsul Masa`il Diniyah. Harapannya, dapat mengonsolidasi ulama dan cendekiawan NU untuk melakukan ijtihad jama’i.

Empat bulanan kemudian, pada tahun 1990 pula, PBNU akhirnya membentuk Lajnah Bahtsul Masail Diniyah, dengan SK PBNU nomor 30/A.I.05/5/1990. Sebutan lajnah ini berlangsung lebih satu dekade. Namun demikian, status lajnah dinilai masih mengandung makna kepanitian ad hoc, bukan organ yang permanen. Karena itulah, setelah Muktamar 2004, status “lajnah” ditingkatkan menjadi “lembaga”, sehingga bernama Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama.

Dalam sejarah perjalanan Bahsul Masail, pernah ada keputusan penting yang berkaitan dengan metode kajian. Dalam Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992 diputuskan bahwa metode pemecahan masalah tidak lagi secara qawly tetapi secara manhajiy. Yakni dengan mengikuti metode dan prosedur penetapan hukum yang ditempuh madzhab empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah). Bukan sekadar mengikuti hasil akhir pendapat madzhab empat." (http://lbmnu.blogspot.com/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html?m=1)

Pamekasan, 26 Juli 2016

Jangan Salah Pintar

Jangan Salah Pintar

Jangan lupa bahwa kita mengukur sebuah kebenaran, berdasarkan informasi dan pengetahuan yang didapatkan. Informasi itu, bisa dari lembaga pendidikan formal, informal, bahkan non formal. Tidak hanya itu, interaksi dengan orang lain; media informasi, berupa lisan atau tulisan; buku bacaan, berupa buku-buku ilmiah, dan bacaan lainnya juga turut serta dalam membentuk ilmu dan pengetahuan. Sehingga dengan itu semua, terciptalah konstruksi berpikir dalam diri manusia. Konstruksi berpikir ini yang sering digunakan sebagai tolok ukur menilai sebuah kebenaran.

Semua orang mempunyai keterbatasan dalam mendapatkan pengetahuan dan informasi; mempunyai pengalaman hidup yang berbeda. Maka, keterbatasan itu yang harus disadari untuk tidak mudah menyalahkan orang lain. Dan pengalaman hidup yang berbeda, akan melahirkan pemikiran yang berbeda pula dalam menilai sesuatu. Sehingga, kita tidak harus mengutuk perbedaan itu dengan berlebihan, karena justeru perbedaan itu yang memenuhi keinginan Tuhan sebagai substansi kemanusiaan. Sedang kita juga tidak tahu siapa yang paling benar.

Saya pernah mendengar--dan terus terang sudah lupa sumbernya dari mana--bahwa, ilmu yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia diibaratkan dengan ujung jarum yang dimasukkan ke dalam lautan, dan air yang melekat pada ujung jarum itu adalah ilmu yang diberikan kepada manusia semesta alam. Jika hal ini benar, bagaimana mungkin kita bisa "memanusiakan Tuhan" dengan cara menyalahkan orang lain dengan membawa-bawa nama Tuhan. Apakah ia, dalam waktu yang sama, Tuhan sedang menyalahkan orang itu. Kalaupun dalam perspektif Tuhan salah, yakinkah bahwa keinginan Tuhan sama seperti yang kita lakukan.

Memang benar, ketika seseorang benci pada orang lain, apapun yang dilakukan orang itu pasti salah. Demikian itu diakibatkan dasar hati kita sudah terlanjur kotor. Introspeksi diri barangkali bisa menjadi obat untuk membersihkan penyakit hati ini. Kalau sudah akut, ini semacam virus yang menggerogoti kebaikan nurani; setiap saat menebar kebencian; mencari pengakuan bahwa diri kita dalam posisi yang benar.

Manusia yang sedang menyalahkan orang lain, pasti pada saat yang bersamaan dia merasa benar. Perasaan benar ini yang sesungguhnya akan melumpuhkan hati nurani manusia, karena akan menyeret pada sifat sombong. Seandainya orang-orang sombong ini menyadari, bahwa ada banyak orang di luar sana yang lebih pandai dengan wawasan yang lebih luas, tetapi dalam menyikapi persoalan, tidak semerta-merta menyalahkan, pasti akan mengurangi sikap demikian ini. Tapi, begitulah manusia, bila ada yang tidak disukai, tertutuplah mata hatinya.

Saya tidak sedang membicarakan orang yang biasa menyalahkan kebijakan pemerintah; tidak pula orang yang sering mengafir-bid'ah dan syirikkan golongan lain; atau orang yang biasa menyesatkan para ulama. Tidak, tidak itu semua. Tapi lebih kepada bagaimana kita bisa menyadari diri dengan segala keterbatasan kita sendiri. Bagaimana mungkin, orang yang pengetahuan tentang kepemerintahannya rendah menyalahkan pemerintah yang dikelilingi para ahli; bagaimana mungkin, orang yang tingkat keagamaannya rendah menyesatkan ulama. Dari mana ini? Kalaupun ada pertarungan manusia pilihan dengan maqom yang sama, biarkan saja, kita tidak harus terlibat. Mari, kita dengan pekerjaan kita, biarkan mereka dengan pekerjaannya.

Pamekasan, 29 Juli 2016

Jumat, 03 Agustus 2018

Apa Pendidikan Pak Tua Penjual Batu?

Apa Pendidikan Pak Tua Penjual Batu?

Suatu kesempatan saya kedatangan seorang penjual batu. Batu yang dimaksud adalah batu asahan—batu yang biasa digunakan untuk mengasah pisau dan benda tajam lainnya. Berat batu itu diperkirakan bisa mencapai sepuluh kilo bahkan bisa lebih. Ia menawarkan batu itu kepada saya seharga Rp. 12.000 waktu itu. Sebelum membeli, saya bertanya kepada bapak tua itu "di mana tempat tinggalnya", kemudian beliau jawab dari Rangperang Dejeh. Sebuah desa yang jaraknya diperkirakan enam (6) KM kurang lebih dari rumah.

Bapak itu menjual batu dengan dipikul sejauh sampai di mana batu itu bisa laku. Dari desa ke desa, kampung ke kampung bapak tua itu menjajakan batu dagangannya. Jarak tempuh yang sangat jauh belum ditambah dengan keliling perdesa yang disinggahi.  Tentu, di masing-masing desa yang ia singgahi tidak mempunyai tujuan yang jelas, melainkan setiap rumah di desa itu adalah tujuannya. Hingga akhirnya secara acak bapak itu sampai di rumahku. 

Dengan rasa kasihan saya membeli batu yang dijual bapak tua itu. Yang semula bapak itu pasang harga jual Rp. 12.000 saya tawar Rp. 10.000, dengan penawaran dari saya akhirnya bapak itu mau menjualnya. Tetapi, saya harus membayarnya dengan harga Rp. 15.000. Selepas membeli, saya membayangkan waktu itu, seandainya saya disuruh membawa batu seberat itu dengan jarak seperti bapak tua itu dengan hadiah Rp. 50.000 rasanya saya tidak mungkin melakukan. Sementara bapak tua itu membawa dua batu besar dengan jarak cukup jauh yang belum tentu akan terjual. Sungguh, ini adalah pekerjaan yang serius dengan penghasilan yang main-main.

Ada sebagian manusia yang memang bekerja serius tapi penghasilannya main-main. Pun, manusia yang bekerja main-main tapi penghasilan serius. Hal seperti itu bisa saja kebetulan dan terjadi kepada sebagian orang saja, karena yang benar seharusnya jika bekerja serius penghasilannya harus pula serius. Tapi kalaupun hal serupa itu menjadi bagian dalam drama kehidupan di dunia ini, kita mau apa. Sebab, kita tidak punya hak memilih pekerjaan serius dengan bayaran serius pula.

Entah, apakah tanda tangan itu termasuk pekerjaan serius atau tidak, karena tidak sedikit tanda tangan bisa bernilai ratusan juta dan bahkan lebih.

Deskripsi di atas yang disebut dengan ketimpangan sosial. Ada banyak pihak yang berupaya memperkecil angka ketimpangan, akan tetapi sampai saat ini hal itu tidak menunjukkan tanda-tanda berhasil. Saya curiga saja bahwa keinginan itu hanya di atas kertas pada saat musim kampanye; tidak sampai tembus dalam hati untuk betul-betul direalisasikan. Lantas, dengan kejadian semacam itu, sistem mana yang mau disalahkan. Apakah sistem pendidikan kita; atau sistem ekonomi kita; sistem hukum, atau sistem yang mana.

Sepertinya sistem yang digunakan dalam kehidupan kita ini adalah kompetisi penuh. Dimulai dari pendidikan misalnya, kita tidak cukup peduli kepada sebagian orang yang tidak berkesempatan mendapatkan pendidikan, sehingga ia tidak mendapatkan kesempatan kerja seperti kita. Sebab, jika pendidikannya sama seperti kita, maka ia akan menjadi batu sandungan bagi kita sebagai kompetitor dalam sebuah pekerjaan. Biarkan saja, yang bodoh makin bodoh dan yang pintar makin pintar.

Kalau begitu, masalahnya di pendidikan. Iyakah? Tingkatkan saja taraf ekonominya agar mendapatkan peluang untuk menempuh pendidikan lebih tinggi, sehingga peluang kerja lebih mudah kalau sudah mempunyai pendidikan tinggi. Pertanyaan selanjutnya: bagaimana cara meningkatkan taraf ekonominya? Nah, itu dia! Sementara orang dengan pendidikan rendah, tidak mempunyai keterampilan yang memadai. Meski keterampilan tidak berbanding lurus dengan penghasilan, tetapi dengan keterampilan lebih memungkinkan hidup lebih layak.

Atau jangan-jangan ada pada supremasi hukum kita. Coba saja para koruptor itu dimiskinkan dan hasil jarahannya masukkan amil zakat—kenapa pilihannya amil zakat? Karena lebih mungkin untuk sampai kepada kaum papa. Atau sistem kita ada yang mengatur tentang batas kekayaan perseorangan, agar manusia-manusia serakah itu tidak seenaknya mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM).

Wallahu a'lam!
Sampang, 03 Agustus 2018

Minggu, 08 Juli 2018

Lebih Baik Tanpa Kebencian

Lebih Baik Tanpa Kebencian

Entah, apa motivasinya dengan postingan-postingan itu. Kok, saya dibuat galau, kacau, risau, geram, radang, dan bahkan gusar. Beraneka ragam post dengan nada kebencian bertebaran, adu domba setiap saat, propaganda tidak henti-henti, sara di mana-mana, perang dingin menjadi-jadi dan bahkan perseteruan yang tidak selesai-selesai. Ini seperti bom waktu yang menunggu kapan akan meledak dan akan menjadi kekacauan sosial yang sangat dahsyat sekali. Semua orang hanya berpegang pada satu kebenaran egosentrisme. Mengabaikan keanekaragaman perspektif manusia lain, sebagai bagian dari keberagaman konstruksi berpikir manusia lainnya.

Ada banyak cara yang dilakukan untuk menumbuhkan sikap-sikap benci sekelompok orang kepada kelompok lainnya. Ekspresinya pun berbeda-beda. Mulai dari membagikan artikel-artikel, dan gambar dari situs-situs tidak bertanggung jawab, sampai dengan sengaja mencari situs yang memojokkan pihak lain, tanpa melihat sumbernya autentik atau tidak. Autentisitas rasanya tidak penting, yang paling penting puas karena ada pihak lain yang mewakili kebencian dalam bentuk argumentasi, hujat, dan cacimaki.

Bermunculan orang-orang pintar baru. Yang setiap saat tampil sebagai orang bijaksana, untuk mengelabuhi orang lain dengan misi menebar kebencian. Bukankah kedamaian lebih menenangkan, dan hati menjadi lebih tenteram, sejuk dan damai. Tapi, kenapa harus menebar kebencian. Selama ini keberhasilan apa yang didapatkan dari kebencian itu, selain murka Allah. Sampai kapanpun tidak ada kebencian dalam bentuk apapun yang mengandung kebaikan; tidak ada kebencian yang mendapat legitimasi dari manapun.

Tidak dalam rangka menghakimi terhadap opini yang berseleweran. Yang benar dan yang salah juga belum jelas. Tetapi memaksakan kebenaran tunggal yang mengarah pada kebencian dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan serta norma yang terdapat dalam keberagaman suku bangsa, ini adalah malapetaka. Sebagai seorang filsuf, Voltair, pernah mengatakan, "Saya tidak percaya apa yang kau katakan, tetapi akan saya bela mati-matian hakmu untuk mengucapkan itu," artinya, bahwa tidak ada kebenaran mutlak di dunia ini. Selama ini kita hanya meraba kebenaran itu sendiri, dan berusaha paling dekat dengan kebenaran, tanpa mengetahui kebenaran yang absolut, karena kebenaran absolut itu adalah milik Tuhan, dan yang lainnnya serba relatif. Tidak seharusnya kita menjustifikasi diri sebagai manusia paling benar, sehingga selalu menyalahkan orang lain. Hal ini juga akan melahirkan sikap-sikap sombong dan menang sendiri.

Sampai kapan ini akan selesai? Rasanya kebencian sudah menghujam ke hulu hati. Bagaimana mungkin keadaan akan menjadi lebih baik, jika manusia-manusianya hanya pandai mengkritik tanpa memberikan solusi. Sesungguhnya Tuhan Maha Tahu, apakah kritik yang dilakukan oleh sekelompok orang itu mengandung kebencian atau tidak; mengandung maksud yang baik atau tidak. Sehingga, apabila kritik itu tidak membangun dan didasarkan pada niat yang tulus untuk sebuah perubahan, sebaiknya jangan dilakukan agar tidak menambah beban dosa sosial dan keadaan menjadi lebih buruk. Bersambung...

Wallahu a'lam.

Pamekasan, 08 Juli 2016